BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 pasal 3 berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum” . Ketentuan ini berasal dari penjelasan UUD NKRI Tahun 1945 yang diangkat ke dalam UUD NKRI Tahun 1945.
Negara Indonesia berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal ini mengandung arti bahwa negara, termasuk di dalamnya Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya dalam melaksanakan tindakan-tindakan apapun, harus dilandasi oleh peraturan hukum atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Ketentuan pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945 menegaskan bahwa : “ segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Konsekuensi ketentuan itu adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilkau alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan dan sesuai dengan hukum. Ketentuan itu sekaligus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk.
Masuknya ketentuan mengenai Indonesia adalah negara hukum ( sebelum perubahan masuk dalam penjelasan UUD Tahun 1945) ke dalam pasal di maksudkan untuk memperteguh paham bahwa Indonesia adalah negara hukum, baik dalam penyelenggaraan negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Kenyataan akhir-akhir ini, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, penegakan hukum di Indonesia menjadi sorotan dari berbagai media dan masyarakat, karena mereka beranggapan bahwa dalam penegakan hukum selalu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan lain yang akibatnya jauh dari keadilan dan harapan masyarakat
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis terinspirasi untuk ingin mengetahui apa penyebab dari lemahnya penegakan hukum di Indonesia dengan Tema Refleksi Penegakan Hukum di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang dijadikan sebagai rumusan masalah dalam karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa Komponen dalam Sistem Hukum
2. Refleksi penegakan hukum di Indonesia
3. Apa solusi Menangani Keterpurukan penegakan Hukum di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komponen Sistem Hukum
Menurut Hans Kelasen dalam Dudu Duswara Machmuddin, (2000 : 75) bahwa :
“Sistem hukum itu merupakan suatu pertanggaan kaidah secara piramidal. Artinya kaidah hukum yang tingkatannya lebih rendah harus mempunyai dasar atau pegangan pada kaidah hukum yang lebih tinggi tingkatannya. Kaidah hukum yang paling tinggi dinamakan konstitusi dan bersumber pada norma dasar yang disebut Grundnorm.
Sedangkan Lawrence M.Fiedman dalam Dudu Duswara Machmuddin, (2000 : 74) bahwa :
Suatu sistem hukum dapat dibagai kedalam tiga bagian atau komponen yaitu :
1. Komponen struktural
2. Komponen Substansi
3. Komponen Budaya Hukum
Komponen Struktural, adalah bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak di dalam suatu mekanisme. Contohnya lembaga pembuat undang-undang, pengadilan, dan berbagai badan yang diberi wewenang untuk menerapkan dan menegakkan hukum, seperti para hakim, polisi, jaksa
Komponen Substansi, adalah suatu hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata ini dapat berbentuk kaidah hukum individual seperti pengadilan menghukum terpidana, polisi memanggil saksi guna keperluan proses verbal. Sedangkan kaidah hukum umum, yaitu ketentuan aturan hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang. Misalnya undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Komponen Budaya hukum, adalah sikap-tindak warga masyarakat beserta nilai-nilai yang dianutnya. Dapat juga dikatakan bahwa budaya hukum adalah keseluruhan jalinan nilai sosial yang berkaitan dengan hukum beserta sikap-tindak yang mempengaruhi hukum. Misalnya, adanya rasa malu dan rasa salah apabila melanggar hukum.
B. Refleksi Penegakan Hukum di Indonesia
“Hukum”, sebuah kata yang tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan hampir setiap hari menjadi bahan pembicaraan utama di media massa ataupun media cetak, hingga membuat Indonesia mengakui dirinya sendiri sebagai Negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. Pengakuan tersebut didasarkan pada alasan atas berbagai macam Undang - Undang yang disahkan, direvisi dan diberlakukan KUHP. Selain itu, dibentuknya beberapa lembaga hukum juga dianggap sebagai salah satu faktor munculnya pengakuan tersebut. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa pengakuan itu muncul karena kepercayaan masyarakat terhadap janji – janji pemerintah untuk lebih menegakkan tanpa pandang bulu.
Memang, berbagai usaha telah dilakukan demi tercapainya arti dari supremasi hukum yang sebenarnya. Namun, usaha tersebut hanya sia-sia belaka karena sebagian besar aparat penegak hukumnya malah sibuk dengan kepentingan pribadi semata sehingga membuat kepercayaan masyarakat kepada aparat hukum justru menurun. Disinilah dapat disimpulkan bahwa bukan faktor hukum saja yang dibutuhkan untuk mencapai supremasi hukum yang sebenarnya, akan tetapi faktor aparat penegak hukum pun sangat memiliki pengaruh yang besar dalam mewujudkan supremasi hukum. Berita tentang penegak hukum yang justru melanggar hukum itu sendiri kerap kali menghiasi berbagai macam berita di media massa ataupun media elektronik. Hal ini sebenarnya sangat bagus, selain untuk memberikan gambaran akan penegak hukum Negara kita, juga dapat mendorong masyarakat untuk turut aktif dalam penegakan hukum.
Oleh sebab itu penegakan hukum di Indonesia perlu dilakukan perbaikan secara besar – besaran baik dari segi peraturan perundang – undangan maupun segi aparat penegak hukum. Sebab, jika tidak dilakukan maka lambat laun Negara kita yang tadinya sudah terpuruk malah semakin terpuruk dikarenakan rapuhnya sistem hukum Negara kita.
Sejak zaman orde baru menuju zaman reformasi harus diakui bahwa terdapat banyak perubahan yang drastis. Meskipun dapat kita akui perubahan tersebut masih tergolong lemah. Hal ini disebabkan karena perpindahan orde baru menuju zaman reformasi tidak punya visi yang jelas atau hanya tambal sulam, sebagai contoh adalah reformasi peradilan yang terwadahi oleh empat paket undang – undang yang berkaitan dengan peradilan yang lebih condong kepada peradilan satu atap. Adalah hal yang benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Benar bahwa sudah banyak lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Timtastipikor.
Saat ini, Negara kita tergolong kedalam 10 besar Negara terkorup didunia. Begitu banyak contoh kasus yang mengguncang publik kita ini. Jaksa Cirus Sinaga dan Urip Trigunawan. Kedua nama itu memang terdengar tidak asing di telinga kita, bahkan sudah sering dijadikan sebagai topik utama baik di media cetak ataupun media elektronik. Keduanya terkenal bukan karena prestasi yang mereka raih di bidang perlombaaan Olimpiade tetapi karena “keberhasilan” mereka dalam memperburuk citra penegak hukum di Indonesia. Yang selanjutnya berdampak buruk pula pada sistem penegakan hukum di Negara Indonesia.
Memang, Kedua orang tersebut hanya sebagian kecil dari contoh penegak hukum yang malah melanggar hukum itu sendiri, tetapi apa yang mereka lakukan itu sudah cukup untuk lebih menambah kekurang percayaan masyarakat akan aparat penegak hukum. Hal ini seakan terlihat lucu dan mengherankan bagi kita. Mengapa ? dikatakan terlihat lucu karena mereka yang berjanji menegakkan hukum sesuai perundang undangan yang berlaku tetapi justru mereka yang melanggar janji mereka sendiri, sedangkan dikatakan mengherankan karena pemikiran akan betapa sia-sianya hukum yang telah ditetapkan namun tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
Selain itu, sekarang hukum ibarat barang dagangan yang dapat di perjual belikan dan dapat ditawar-tawar. Pengadilan dan ruang tahanan diibaratkan sebagai pasarnya. Hukuman sudah tidak di takuti lagi bagi orang yang berkantong tebal alias banyak uang. Mereka memberi iming-iming kepada penegak hukum berupa uang mulai dari yang bernilai jutaan bahkan sampai miliaran. Seharusnya kita sadari bahwa uang ternyata dapat memperburuk sistem hukum di Negara Indonesia. Jadi tidak salahlah pernyataan lirik lagu yang berjudul “Andai Aku Gayus Tambunan” yang bertuliskan “ Lucunya di Negeri ini….hukuman bisa dibeli…..”.
Tidak hanya penegak hukum yang justru melanggar hukum itu sendiri. Tetapi, perilaku seperti itu akhirnya merambah masuk ke dalam “Gedung Senayan”. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan ditahannya beberapa anggota DPR dari komisi oleh KPK karena dugaan penyuapan dalam kasus pemilihan mantan Deputi Gubernur BI, Miranda Guoltom. Hal ini merupakan prestasi tersendiri bagi KPK sebagai salah satu lembaga penegakan hukum di Indonesia. Namun, ada saja kalangan yang justru menganggap keberhasilan KPK ini sebagai sebuah pencitraan belaka.
Selain unsur penegak hukum dan anggota DPR, pihak perpajakan juga turut ikut serta dalam menambah keterpurukan penegakan hukum di Negara Indonesia, dan orang yang menjadi buah bibir dalam hal ini adalah Gayus Tambunan. Dikatakan turut ikut serta dalam menambah keterpurukan penegakan hukum di Indonesia karena tindakannya yang bepergian kemana-mana seperti Bali, Macau, Singapura, dan bahkan sampai ke Amerika Serikat sedangkan ia masih menjalani proses hukum. Disini, peran uang kembali berlaku, Gayus menyuap para sipir/penjaga lapas tempat ia ditahan demi keluarnya ia dari penjara dengan alasan ingin menjenguk keluarga serta menenangkan pikiran. Dan akhirnya sistem penegakan hukum pula yang kena batunya.
Setelah melihat apa-apa yang terjadi di atas, hukum seakan tidak menunjukkan keadilannya terhadap masyarakat kecil atau orang tak punya uang. Hukum seakan di Istimewakan kepada orang yang dapat menjaminnya dengan uang. Hal ini juga memberikan pandangan tersendiri dalam masyarakat bahwa jika hukum itu berkuasa, keadilan belum tentu terlaksana, tapi dasar keadilan itu ada.
Memamg benar, semua peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah demi tegaknya hukum di Negara kita sudah sangat baik. Namun, orang-orang yang menegakkan hukum malah tak memiliki kesadaran akan pentingnya penegakan hukum demi tercapainya arti sebenarnya dari supremasi hukum.
C. Solusi yang dapat dilakukan dalam memperbaiki penegakan hukum
Di Indonesia, Lembaga peradilan adalah institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan oleh karenanya diperlukan upaya untuk memperbaiki penegakan hukum dinegeri kita.
Oleh sebab itu, diperlukan solusi atau upaya yang kongkret dalam mewujudkan supremasi hukum diNegara kita. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan.
Pertama, perbaikan pada komponen struktural yaitu dengan mengganti dan menghukum dengan seberat – beratnya para penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum seperti penyuapan atau pemalsuan dokumen. Hal ini sangat penting mengingat penegak hukum merupakan penentu tegaknya hukum disuatu negara karena, percuma jika aturan yang ditetapkan bersifat tegas akan tetapi pelaksana aturan tersebut lemah.
Kedua, perbaikan pada komponen subtansi dan budaya hukum yaitu dengan merevisi peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan tindak pidana. Misalnya dengan merubah sanksi bagi yang melakukan korupsi sampai pada hukuman mati atau dengan menerapakan hukum islam yaitu hukum qishas seperti yang berlaku di Arab Saudi dalam bentuk hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian. Semua hal tersebut bertujuan agar memberi efek jera pada pelaku dan semua orang akan takut melakukan tindak kejahatan. Hal ini juga akan memberikan pendidikan yang sangat berharga pada masyarakat.
BAB III.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ada tiga komponen dalam suatu sistem hukum yaitu :
a. Komponen Struktural
b. Komponen Subtansi
c. Komponen Budaya Hukum
2. Dari ketiga komponen tersebut, Indonesia belum bisa melaksanakannya secara sepenuhnya karena Perilaku para penegak hukum yang masih lebih mementingkan kepentingannya ketimbang kepentingan rakyat. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat akan hukum di Negara kita di karenakan kurangnya sosialisasi dari pihak pemerintah.
3. Tugas kita sebagai tunas bangsa untuk memperbaiki semua itu, hal itu kita mulai dengan giat belajar dan dengan semangat optimis kita raih masa depan yang gemilang.
B. Saran
1. Memberikan pendidikan sejak dini terhadap generasi muda mengenai sifat – sifat terpuji yang sesuai dengan norma agama.
2. Kepada pihak – pihak yang berwenang agar meninjau kembali aturan perundang – undangan yang terkait dengan penegakan hukum.
3. Kepada para penegak hukum agar menjalankan tugas dan funsinya dengan benar dan tegas tanpa pandang bulu.
Minggu, 13 Februari 2011
Refleksi Penegakan Hukum di Indonesia
20.17
kaharuddin
0 komentar:
Posting Komentar